RAKYAT.NEWS, MAKASSAR – Bulan September setiap tahunnya selalu diperingati sebagai “September Hitam” sebab rentetan kasus pelanggaran HAM di Indonesia terjadi di waktu tersebut. Termasuk kejadian yang menewaskan seorang Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir Said Thalib yang juga pendiri Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Karakternya yang vokal membuat ia kerap mengungkap sejumlah persoalan yang terjadi pada tubuh aparat.

“Padahal Munir selalu bersuara untuk menuntut kesejahteraan bagi aparat keamanan karena menurutnya ada kesenjangan antara perwira dengan tentara biasa,” ujar Kepala Divisi Hukum KontraS, Andrie Yunus dalam keterangan resmi, Senin, 11 September 2023.

Ia menerangkan, Munir merupakan sosok yang berjasa dalam reformasi aparat keamanan, terlihat dari adanya pasal yang disebut dengan “Pasal Munir” dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. “Selain itu, Munir telah banyak berjasa dalam mengawal kasus-kasus pelanggaran HAM,” lanjut Andrie.

Kasus pembunuhan terhadap Munir sering dianggap sebagai pembunuhan biasa yang seharusnya dikategorikan luar biasa.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid dalam keterangan resmi, menegaskan bahwa kasus tersebut masuk dalam kategori luar biasa sebab melibatkan beberapa institusi negara.

“Kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, tidak seharusnya diselesaikan dengan pengampunan atau pemutihan, kasus ini harus diselesaikan secara adil dan harus mengedepankan prinsip Pro Justitia,” ucapnya.

Usman menyebut ada tiga faktor yang menghambat penyelesaian kasus pembunuhan tersebut.

Yang pertama, faktor hukum, di mana lambatnya aparat penegak hukum dalam menangani kasus ini.

Yang kedua, faktor teknis, Munir kehilangan nyawanya dikarenakan racun arsenik yang membunuhnya, bahkan Institusi Forensik Belanda menyatakan senyawa arsenik melebihi batas sewajarnya, tetapi baru diketahui setelah 65 hari kemudian.