Jakarta, Rakyat News – Selaku pemenang tender, Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) hanya mampu mencetak 1,6 juta keping E-KTP pada 2011. Padahal seharusnya, Konsorsium PNRI ditarget mencetak 67 juta keping. Mantan Direktur Utama PNRI Isnu Edhi Wijaya mengaku ada berbagai kendala yang menyebabkan target tidak tercapai.

Salah satu alasannya, PT Sandipala selaku salah satu anggota konsorsium yang mencetak E-KTP, terkendala mesin. Pembelian mesin tak bisa dilakukan karena mereka tak menerima down payment (DP). Isnu mengatakan, saat itu ada sembilan kali perubahan kontrak untuk menutupi target yang tak tercapai.

”Sekitar 67 juta (keping e- KTP), karena hanya bisa 1,6 (juta keping E-KTP) maka itu diganti dikontrak? Apa target jadi acuan perubahan?” tanya jaksa KPK kepada Isnu dalam sidang lanjutan kasus korupsi EKTP di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (4/5).

”Iya, seperti itu,” jawab Isnu. Jaksa KPK kembali menegaskan pertanyaannya. ”Jadi pekerjaan jadi acuan perubahan perjanjian?” tanya jaksa KPK lagi yang diamini Isnu. Terkait dengan perubahan kontrak, Isnu mengaku pada masa jabatannya, hanya ada enam kali. Meski demikian, dia mengaku mendengar perubahan kontrak proyek E-KTP sampai sembilan kali.

Dia juga mengatakan, seharusnya konsorsium mendapatkan bayaran ketika blangko E-KTP sudah terdistribusi di tingkat kecamatan. Hal itu sesuai dengan apa yang tertulis dalam kontrak awal. Namun pada akhirnya, setelah dilakukan perubahan, konsorsium mendapatkan bayaran meski masih berupa blangko kosong.

”Pada awalnya, setelah blangko sampai terdistribusi di kecamatan, baru mendapat bayaran. Namun setelah perubahan, kami sudah berhak meski masih blangko kosong,” ujar Isnu. Dalam surat dakwaan, selain disebut memperkaya diri sendiri, Irman dan Sugiharto didakwa memperkaya orang lain. Disebutkan manajemen bersama Konsorsium PNRI menerima Rp 137.989.835.260 dan Perum PNRI menerima Rp 107.710.849.102.

YouTube player