Mulyadi juga menduga terjadi pelanggaran dari awal. Saat proyek masih ditahap lelang.

Ia menduga pemenang telah diarahkan kepada pihak-pihak penyedia tertentu. Praktik ini telah menghambat pelaku usaha lain untuk ikut, sehingga akan terjadi banyak permasalahan

“Harga satuan volume tidak ditetapkan berdasar HPS sehingga diduga ada Mark Up harga. Realisasi atas pekerjaan tersebut tidak tercapai sesuai ekspektasi.
Terjadi gratifikasi dalam lelang/tender yang melibatkan seluruh pihak yang berkompeten,” tambahnya.

Menurutnya, kerugian yang ditimbulkan akibat dari persekongkolan tersebut antara lain, barang atau jasa yang diperoleh (baik dari sisi mutu, jumlah, waktu, maupun nilai dan seringkali lebih rendah dari yang akan diperoleh karena telah diarahkan dan dilakukan secara tidak jujur.

“Karena itu kami mendesak aparat penegak hukum untuk melakukan audit investigatisi dan audit forensic, baik terhadap mutu pekerjaan, Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan maupun pertanggunghawaban penggunaan keuangan Negara/daerah yang wajib dilaksanakan secara efektif dan efisien. Karena bukan tidak mungkin permasalahan tersebut melibatkan para eksekutif dan legislatif yang ada di Kabupaten Takalar,” imbuhnya.

Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Sulsel didorong menuntaskan kasus dugaan korupsi pada proyek pembangunan pengaman pantai (talud) di Desa Mappakalompo, Kecamatan Galesong, Takalar. Dalam proyek bernilai Rp4 miliar ini diduga ada kesalahan dalam proses pembayaran.

“Karena itu pihak pihak yang kami sebutkan di atas harus diperiksa. Sebab ini jelas ada keterlibatan kolektif. Tidak mungkin anggaran 100% bisa cair kalau tidak ada persekongkolan,” tandas Direktur Laksus Muh Ansar.

Ansar mengatakan, tak terlalu rumit untuk mengungkap siapa yang paling bertanggung jawab dalam kasus ini. Menurut dia, alurnya sederhana. Karena ‘benang kusutnya’ ada pada pembobotan proyek.

“Disitu letak masalahnya. Pada pembobotan. Bobot pekerjaan diduga baru 70% tapi dilaporkan 100%,” terang Ansar.