Gugatan Alhaidi Ditolak PTUN Makassar
RAKYAT.NEWS, MAKASSAR – Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar sempat tidak bisa diakses publik. Akses ke halaman utama website beberapa kali gangguan dan mengarahkan pengguna ke situs salah satu kampus di Kota Medan. Di tengah kebingungan ini, publik dibuat bertanya-tanya mengenai kabar terbaru gugatan yang dilayangkan mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Alhaidi, terhadap keputusan skorsing dari pihak kampus.
“Kami mencoba akses beberapa kali SIPP PTUN Makassar, tapi gagal. Namun, kami telah mendapatkan salinan putusan melalui e-court dan benar bahwa Gugatan Alhaidi ditolak,” jelas Kuasa Hukum Alhaidi, Hutomo Mandala Putra, pada Kamis, 17 April 2025.
Gugatan yang tercatat dengan Nomor Perkara: 124/G/2024/PTUN.MKS itu resmi diputus dengan amar: “menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Putusan ini dinilai sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab Majelis Hakim dalam melihat secara substansial persoalan yang tengah dihadapi mahasiswa tersebut. Alhaidi, yang selama ini aktif menyuarakan protes terhadap pembatasan demokrasi di kampusnya, mengaku kecewa.
“Keputusan ini cukup membuat saya kecewa. Seharusnya hakim betul-betul ada pada pendiriannya yang mendukung keberlangsungan demokrasi di manapun, lebih-lebih di kampus. Namun nyatanya sekarang hukum di Indonesia, lebih-lebih di PTUN, betul-betul saya rasakan tajam ke bawah tumpul ke atas,” tegasnya.
Majelis menilai bahwa Surat Keputusan Skorsing yang diterbitkan oleh Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar telah sesuai dengan regulasi, termasuk Surat Edaran No. 2591, yang dianggap menjadi dasar pelanggaran oleh Alhaidi.
Namun, menurut tim kuasa hukum, pertimbangan hakim terlalu formalistik dan gagal menggali akar permasalahan.
“Kami menilai SE 2591 tidak memiliki landasan yang kuat sehingga membatasi ruang demokrasi di lingkup kampus. Surat edaran itu justru bertolak belakang dengan konstitusi dan prinsip HAM. Bagaimana mungkin dijadikan dasar untuk membenarkan skorsing terhadap mahasiswa?” tegas Hutomo.
Selain itu, terdapat pelanggaran prosedural serius yang justru diabaikan oleh majelis hakim. Salah satunya, SK Skorsing tidak pernah disampaikan kepada orang tua atau wali Alhaidi.
“Majelis hakim enggan mempertimbangkan pelanggaran bahwa SK tidak diberikan tembusannya kepada orang tua Alhaidi. Padahal ini jelas bagian dari prosedur. Kami menilai hakim lepas tangan atas sebagian prosedur yang telah dilanggar oleh Tergugat,” ucap Hutomo.
Hal lain yang turut diabaikan adalah ketidakwajaran proses pemanggilan Alhaidi oleh Dewan Kehormatan Universitas (DKU). Panggilan diberikan pukul 16.05 pada 23 Agustus 2024, padahal sidang diminta berlangsung di hari yang sama. Ini dianggap mencederai prinsip pelayanan publik dalam tata kelola pemerintahan yang baik.
“Asas pelayanan yang baik mestinya dijunjung: tepat waktu, prosedur dan biaya yang jelas, dan sesuai ketentuan. Tapi ini malah sebaliknya,” terang Hutomo.
Gugatan Alhaidi bukan hanya soal ketidakadilan atas satu keputusan skorsing, tetapi menjadi cermin bagaimana proses peradilan administratif sering kali gagal mengurai akar persoalan kebebasan berekspresi dan hak mahasiswa dalam ruang akademik.
Dwiki Luckianto Septiawan

Tinggalkan Balasan