RAKYAT.NEWS, MAKASSAR – Kasus skorsing terhadap Alhaidi, mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, menjadi sorotan setelah Majelis Hakim PTUN Makassar menolak gugatannya. Padahal, berbagai pelanggaran prosedural disebut terjadi saat Surat Keputusan Skorsing dikeluarkan, salah satunya adalah tidak diberikannya hak klarifikasi kepada yang bersangkutan sebelum sanksi dijatuhkan.

Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan disebut langsung mengeluarkan Surat Keputusan Skorsing Nomor 4039 Tahun 2024, tanpa adanya proses pemanggilan atau klarifikasi kepada Alhaidi.

“Sebelum menjatuhkan sanksi, Tergugat tidak pernah memberi kesempatan bagi Alhaidi untuk memberikan klarifikasi. Langsung dijatuhi skorsing satu semester. Ini jelas melanggar prinsip fair hearing,” kata Hutomo Mandala Putra, kuasa hukum Alhaidi.

Proses pemanggilan ke Dewan Kehormatan Universitas pun berlangsung secara tidak proporsional. Alhaidi dipanggil dengan surat yang baru diterima pada pukul 16.05 untuk hadir pada hari yang sama. Kondisi itu membuatnya mustahil hadir dan memberikan pembelaan.

“DKU dalam hal ini menyalahi asas pelayanan yang baik. Waktu tidak memadai, standar pelayanan publik dilanggar,” ujar Hutomo.

Hakim pun tidak mempertimbangkan fakta bahwa skorsing tidak disampaikan kepada orang tua atau wali Alhaidi. Padahal ini merupakan bagian dari prosedur administratif yang seharusnya tidak diabaikan.

“Kami menyayangkan majelis yang menyatakan Tergugat dapat langsung menjatuhkan sanksi tanpa pemeriksaan oleh DKU. Ini jelas melanggar Asas Ketidakberpihakan dalam pemerintahan yang baik,” kata Hutomo.

Putusan ini, menurut Alhaidi dan tim hukumnya, berpotensi menjadi preseden buruk. Jika dibiarkan, maka ruang demokrasi di lingkungan kampus akan semakin sempit.

“Hukum di Indonesia saya rasakan tajam ke bawah tumpul ke atas,” ungkap Alhaidi.

Sementara itu, dasar penerbitan skorsing merujuk pada Surat Edaran No. 2591 yang mewajibkan pemberitahuan aksi 3×24 jam kepada birokrasi kampus. Surat edaran ini sendiri dipersoalkan legalitas dan kompatibilitasnya terhadap prinsip HAM dan konstitusi.

“SE 2591 itu tidak memiliki kekuatan hukum yang sahih untuk membatasi kebebasan berekspresi. Ini berbahaya kalau dijadikan acuan oleh kampus dalam menekan aspirasi mahasiswa,” tandas Hutomo.

 

 

Dwiki Luckianto Septiawan

YouTube player