RAKYAT NEWS, JAKARTA – Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menyoroti dampak produk impor Cina yang membanjiri pasar tekstil di Indonesia dan mengancam kelangsungan industri tekstil dalam negeri.

“Impor dari Cina, kalau kita mencatatnya dari yang masuk itu ternyata jauh lebih sedikit daripada yang dicatat Cina,” ujar Heri saat diskusi publik Indef bertajuk “Industri Tekstil Menjerit, PHK Melejit” di Jakarta, Kamis (8/8/2024).

Heri memberikan contoh perbedaan nilai ekspor HS Code 6109 berupa kaus, singlet, dan kaus kutang lainnya dari Cina ke Indonesia sebesar $39,5 juta sedangkan nilai impor Indonesia hanya sebesar 19,9 juta dollar.

“Nah ini sisanya ke mana? Apakah kecemplung di laut atau hilang atau masuk lewat mana?” tanya Heri.

Ia mempertanyakan keberadaan selisih nilai transaksi antara ekspor dan impor, menekankan perlunya pemerintah memberikan penjelasan terkait hal ini.

“Ini yang jadi pertanyaan kok jauh banget selisihnya. Selisihnya dua kali lipat lebih. Jadi yang dicatat (keluar) dari Cina, lebih besar daripada yang dicatat masuk ke Indonesia,” ucap Heri.

Menurut Heri, validitas data transaksi menjadi penting di tengah kondisi lesunya industri tekstil dalam negeri dengan dugaan banyak produk tekstil ilegal yang masuk ke pasar.

Heri menekankan pentingnya langkah tegas dari pemerintah untuk mengendalikan impor produk tekstil ilegal agar dapat melindungi industri dalam negeri.

“Ini indikasi adanya impor ilegal, namun tentu ini pintu masuknya lewat mana, kok yang dicatat segini, tapi yang tercatat resmi hanya separuhnya. Ini tidak hanya dari Cina, ada juga impor dari Malaysia, Thailand yang selisihnya jauh sekali. Kalau berkaitan dengan impor ilegal, ya harus diseriusi,” kata Heri.