Selain itu, terdapat pelanggaran prosedural serius yang justru diabaikan oleh majelis hakim. Salah satunya, SK Skorsing tidak pernah disampaikan kepada orang tua atau wali Alhaidi.

“Majelis hakim enggan mempertimbangkan pelanggaran bahwa SK tidak diberikan tembusannya kepada orang tua Alhaidi. Padahal ini jelas bagian dari prosedur. Kami menilai hakim lepas tangan atas sebagian prosedur yang telah dilanggar oleh Tergugat,” ucap Hutomo.

Hal lain yang turut diabaikan adalah ketidakwajaran proses pemanggilan Alhaidi oleh Dewan Kehormatan Universitas (DKU). Panggilan diberikan pukul 16.05 pada 23 Agustus 2024, padahal sidang diminta berlangsung di hari yang sama. Ini dianggap mencederai prinsip pelayanan publik dalam tata kelola pemerintahan yang baik.

“Asas pelayanan yang baik mestinya dijunjung: tepat waktu, prosedur dan biaya yang jelas, dan sesuai ketentuan. Tapi ini malah sebaliknya,” terang Hutomo.

Gugatan Alhaidi bukan hanya soal ketidakadilan atas satu keputusan skorsing, tetapi menjadi cermin bagaimana proses peradilan administratif sering kali gagal mengurai akar persoalan kebebasan berekspresi dan hak mahasiswa dalam ruang akademik.

 

 

Dwiki Luckianto Septiawan

YouTube player