Suwito juga menyatakan bahwa PT SIP tidak diberitahu tentang aturan UU Pertambangan oleh PT Timah dan bahwa mereka mengikuti ketentuan dalam surat perjanjian kerja sama.

“PT SIP tidak mengetahui dan tidak dijelaskan aturan UU Pertambangan oleh PT Timah Tbk tersebut. IUP (ijin usaha pertambangan) PT SIP adalah IUP Laut. Pada waktu kerja sama dengan PT Timah Tbk tersebut, PT SIP tidak melakukan penambangan dan tidak melakukan pengespotan timah,” kata Suwito.

“Undangan meeting dengan PT Timah Tbk untuk perubahan harga harus SIP hadirin karena telah menerima kontrak pekerjaan tersebut. Bukan berarti PT SIP melakukan perbuatan korupsi,” imbuhnya.

Terkait dugaan penerimaan dana corporate social responsibility (CSR) yang diminta oleh Terdakwa Harvey Moeis, Suwito menyatakan bahwa mereka harus mengikuti permintaan tersebut dan bukan berarti melakukan tindakan korupsi.

“Sumbangan untuk kesejahteraan rakyat yang dikumpulkan Pak Harvey Moeis katanya sesuai inisiasi dari Kapolda Bangka pada waktu itu. Mau tidak mau, kami harus mengikuti, memberi dan tidak berani menolak atau melawan. Bukan berarti PT SIP melakukan perbuatan pidana korupsi. Maka saya sebagai terdakwa sangat kecewa dengan tuntutan yang terjadi,” tuturnya.

Suwito juga mencatat bahwa upah yang diterima PT SIP hanya Rp 486 miliar dan bahwa dia tidak pernah diminta klarifikasi oleh jaksa terkait perhitungan uang pengganti sebesar Rp 2,2 triliun yang diajukan dalam surat tuntutan.

“Saya didakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 2,2 triliun. Sedangkan untuk PT SIP sendiri hanya menerima upah sewa peralatan perleburan dan fasilitas smelter sebesar Rp 486 miliar saja. Di mana semua hasil balok Timah diterima oleh PT Timah, bukan PT SIP. Bahkan sampai dengan saat ini juga saya tidak pernah dimintakan klarifikasi dari pihak penuntut umum berkait penghitungan Rp 2,2 triliun tersebut,” kata Suwito.

YouTube player