“Jadi, yang kami inginkan pasal 58 Ayat (2) sebesar 40%-75% itu dicabut. Selain itu kami meminta hanya dikenakan pajak hiburan sebesar 0% – 10% agar tidak lagi ada diskriminasi dan kekeliruan dalam penetapan ‘obyek’ pajak hiburan, seperti yang selama ini terjadi di Kota Makassar dimana pajak ‘tontonan’ (pajak hiburan) ditetapkan bagi usaha pub, diskotik dan kelab malam sebesar 30% sampai 35%, tapi yang menjadi ‘obyek’ atau ‘sasaran’ pajaknya justru ‘makan dan minuman’ khususnya minuman beralkohol, padahal itu merupakan obyek pajak restoran yang semestinya dipungut hanya sebesar 10% dan kami pengusaha memang hanya memungut 10% dari konsumen selama ini,” kata Zulkarnain.

Zulkarnain menuturkan, bahwa penetapan pajak yang tinggi ini tentunya hanya akan menimbulkan merosotnya visitasi konsumen ke tempat-tempat hiburan. Dalam artian, pengusaha akan kehilangan konsumen dan hal ini tentunya akan berakhir pada penutupan usaha serta akan berdampak banyaknya pekerja di sektor hiburan yang akan kehilangan lapangan kerja.

“Apalagi dalam masa sekarang para pengusaha sektor hiburan masih berupaya melakukan recovery usaha pasca Pandemi Covid-19 yang menghantam sektor pariwisata khususnya industri hiburan selama dua tahun lebih, kini mendapat ancaman baru yaitu pengenaan pajak yang tidak manusiawi dan paling tinggi di dunia,” ujarnya.