RAKYAT NEWS, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi menolak gugatan terkait legalitas ganja untuk digunakan dalam pengobatan medis dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang nomor 8 tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961.

Gugatan itu diusulkan oleh Seorang Ibu Rumah Tangga (IRT) bernama Pipit Sri Hartanti dan karyawan swasta Supardji. Mereka meminta agar ganja dapat digunakan untuk pengobatan medis.

Hanya saja, penggunaannya terhalang akan adanya ketentuan aturan hukum yang melarang penggunaan Narkotika Golongan I dalam pelayanan kesehatan.

Karena itu, para pemohon meminta agar Pasal 1 Pasal 1 angka 2 Undang-undang nomor 8 tahun 1976 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28H ayat 2 UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

“Menolak permohonan para Pemohon untuk semuanya,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan perkara nomor 13/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (20/3/2024), dikutip dari CNN Indonesia.

Dalam pertimbangannya, Hakim MK Guntur Hamzah mengatakan Indonesia tidak meratifikasi dokumen E/CN/7/2020/CRP.19, sehingga Indonesia tidak terikat untuk melegalisasi penggunaan ganja medis untuk pelayanan kesehatan.

Selain itu, belum ada bukti pengkajian dan penelitian secara valid terkait penggunaan ganja dalam layanan kesehatan. Sehingga sulit untuk dipertimbangkan alasan rasionalitasnya.

“Belum adanya bukti ihwal pengkajian dan penelitian secara komprehensif pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka keinginan untuk menjadikan ganja atau zat kanabis untuk layanan kesehatan sekali lagi ihwan tersebut sulit dipertimbangkan dan dibenarkan oleh mahkamah untuk diterima alasan rasionalitasnya,” ujar Guntur.

Meski begitu, Hakim MK meminta pemerintah untuk melakukan kajian terkait penggunaan ganja medis. Menurutnya, hal itu diperlukan agar isu ganja medis bisa terjawab secara ilmiah.